Juli 18, 2025
IMG-20250708-WA0014(1)

Malut, TribunMakayoa.com  – Kebijakan moratorium pemekaran daerah otonomi baru (DOB) kembali menuai kritik tajam dari kalangan praktisi hukum. Salah satunya datang dari Yusman Arifin, SH, yang menilai bahwa kebijakan tersebut tidak lebih dari pernyataan lisan tanpa dasar hukum, sehingga tidak layak dijadikan acuan resmi untuk menahan aspirasi pemekaran wilayah yang berkembang luas di masyarakat.

Dalam keterangannya kepada Media ini, Yusman menyebut bahwa pemekaran DOB adalah keniscayaan, bukan semata-mata wacana politik atau proyek elite. Ia menegaskan bahwa semangat pemekaran lahir dari akar rumput dan masyarakat lapis bawah, sebagai bentuk tuntutan atas keadilan, pemerataan pembangunan, dan akses pelayanan publik yang lebih dekat dan efisien.

> “Pemekaran adalah refleksi jeritan masyarakat yang ingin maju. Mereka bukan meminta proyek, tapi meminta negara hadir lebih dekat. Menolak aspirasi ini dengan alasan moratorium tanpa dasar hukum adalah bentuk pembangkangan terhadap semangat konstitusi,” tegas Yusman.

 

Yusman membeberkan bahwa sejak pemerintah menutup keran pemekaran pada tahun 2014, lebih dari 300 usulan DOB telah diajukan ke pemerintah pusat. Sayangnya, seluruh usulan itu tertahan hanya karena isu moratorium yang selama ini tidak memiliki regulasi tertulis maupun kekuatan hukum yang mengikat.

> “Saya sudah pelajari semua regulasi – mulai dari UUD 1945, UU Pemerintahan Daerah, PP, Perpres, sampai Permendagri – tidak satu pun yang menyebutkan atau mengatur moratorium. Lalu atas dasar apa pemerintah membatasi hak rakyat untuk berkembang? Ini konyol, benar-benar konyol,” tegasnya lagi.

 

Menurut Yusman, kondisi ini menjadi indikasi lemahnya penghormatan terhadap prinsip negara hukum. Pemerintah, menurutnya, telah mendegradasi hak-hak konstitusional rakyat dengan kebijakan verbal yang tidak bisa diuji dalam sistem hukum.

> “Jika tidak ada landasan hukum, maka moratorium adalah kebijakan yang cacat. Sudah waktunya masyarakat menggugat kebijakan ini melalui judicial review atau PTUN, agar ada kepastian hukum dalam penataan daerah ke depan.”

 

Yusman juga menyerukan agar masyarakat dari daerah-daerah pengusul DOB tidak diam. Mereka harus bangkit dan mendesak DPR RI dan pemerintah pusat untuk menghentikan penundaan pemekaran yang tidak berdasar.

> “Rakyat tidak boleh berjuang sendiri. Kepala daerah, DPRD, dan seluruh pemangku kepentingan harus turun tangan. Negara tidak boleh hanya hadir saat kampanye, tapi abai saat rakyat meminta keadilan administratif,” ujar Yusman.

 

Khusus untuk Maluku Utara: Rumuskan Grand Desain Pemekaran Sekarang Juga

Secara khusus, Yusman mengimbau agar seluruh kepala daerah dan DPRD di Provinsi Maluku Utara bersatu memperjuangkan daerah-daerahnya yang layak dimekarkan. Ia menyadari kondisi keuangan daerah memang sedang tidak ideal, namun hal itu bukan alasan untuk membiarkan aspirasi rakyat diredam terus-menerus.

> “Saya meminta Gubernur Maluku Utara agar segera menginisiasi pertemuan bersama seluruh bupati dan wali kota se-Maluku Utara untuk menyusun grand desain pemekaran daerah secara ilmiah dan partisipatif. Tentukan berapa jumlah kabupaten/kota yang ideal, agar perjuangan ini tidak sporadis, tapi sistematis.”

 

Menurut Yusman, Maluku Utara adalah provinsi kepulauan yang sangat luas dengan beragam potensi alam, tetapi tidak akan pernah bisa berkembang maksimal jika sistem pemerintahan dan pelayanan publik terus terpusat di titik-titik tertentu saja.

> “Jika pemerintah pusat tetap mengabaikan aspirasi DOB tanpa alasan hukum yang jelas, maka rakyat berhak menyatakan bahwa pemerintah telah gagal menghadirkan keadilan wilayah. Ini bukan soal politik, ini soal konstitusi dan masa depan bangsa,” pungkasnya.

Redaksi: Mito
Editor: Win

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *